Cerita Andi Fahri Jadikan SMA Plus Budi Utomo Makassar sebagai Sekolah Penggerak
By Abdi Satria
nusakini.com-Makassar- SMA Plus Budi Utomo Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi satu dari sembilan sekolah di Kota Makassar yang terpilih sebagai sekolah penggerak. Dibalik terpilihnya SMA Plus Budi Utomo menjadi sekolah penggerak, ada Andi Fahri yang menjadi dalangnya. Siapa Andi Fahri?
Andi Fahri merupakan guru penggerak pertama yang dimiliki SMA Plus Budi Utomo Makassar. Guru mata pelajaran kimia ini juga orang pertama yang memprovokatori Kepala SMA Plus Budi Utomo, Dede Nurohim, untuk mengikuti program guru dan kepala sekolah penggerak. Pria yang akrab dipanggil Fahri ini sangat menginginkan sekolah tempat ia mengabdi bisa dipilih menjadi sekolah penggerak.
Keinginan Fahri bukan tanpa sebab. Saat program guru penggerak diluncurkan pada 3 Juli 2020 silam, Fahri tak antusias, bahkan sempat skeptis dan memandang remeh. “Ah, program apa lagi ini? Lama sekali harus pendidikan sembilan bulan,” tuturnya saat bercerita santai di SMA Plus Budi Utomo, Makassar.
Namun demikian, Fahri yang berlatar belakang sarjana jurusan kimia murni dan dilanjutkan dengan penyetaraan bidang pendidikan ini tetap mencari tahu mengenai program guru penggerak. Satu hal yang menggerakkan Fahri untuk mengikuti program adalah saat mengetahui bahwa di dalam guru penggerak, metode yang ditonjolkan adalah keberpihakan pada murid.
Masih diselimuti dengan berbagai tanda tanya dan kurang motivasi, Fahri akhirnya mengikuti rangkaian tes guru penggerak. Ia bercerita selama tes, banyak kendala yang ditemui dan hampir memutuskan motivasinya untuk terus melanjutkan program. Namun sayangnya, setiap masalah yang ia temui selalu mendapatkan jalan keluar sampai akhirnya bisa lolos menjadi guru penggerak. “Saat tes bakat skolastik misalnya, saya sedang di daerah karena ada teman menikah. Saya menghadapi kendala jaringan. Akhirnya saya perlu waktu lama untuk menyelesaikan tes, tapi akhirnya berhasil,” tutur Fahri.
Baru saat tes wawancara, Fahri merasa motivasinya kembali tinggi. Setiap informasi yang ia terima mulai mengubah cara pandangnya sebagai seorang guru, bahwa seharusnya guru itu menuntun bukan menuntut siswa untuk bisa. Dan akhirnya Fahri lulus sebagai guru penggerak angkatan pertama, menjadi satu dari 21 guru penggerak dari Sulawesi Selatan.
Tak ingin menikmatinya sendiri, Fahri pun memprovokatori Kepala SMA Plus Budi Utomo, Dede Nurohim untuk menjadi guru sekaligus kepala sekolah penggerak. Terdorong oleh Fahri, Dede lalu memutuskan mengikuti rangkaian tes guru penggerak. Sama seperti Fahri, Dede pun tak antusias awalnya. Ia mengaku sempat menghubungi rekan-rekannya sesama kepala sekolah lain, dan tak mendapat respons positif.
Dede tetap melanjutkan proses seleksi satu demi satu. Pada tes pertama, ia diminta menuliskan esai yang terkait dengan pekerjaan sehari-hari yang bertema manajerial. “Saya tidak merasa pertanyaan itu sulit, karena memang sudah dilakukan setiap hari,” katanya.
Lulus di tahap pertama, Dede pun lanjut ke tes berikutnya yaitu praktik mengajar, yang juga bisa dilaluinya dengan baik. Baru saat tes ketiga, yaitu wawancara, Dede menemukan bahwa esai yang ditulisnya di tes awal ditanyakan kembali dan ia harus menjelaskannya dengan baik. “Karena esainya saya tulis sendiri, saya bisa dengan mudah menyelesaikan tes wawancara,” terang Dede.
Ketertarikan Dede pada program guru penggerak dan semakin ingin agar sekolahnya menjadi sekolah penggerak dikarenakan program tersebut sesuai dengan visi misi SMA Plus Budi Utomo. Sekolah semi pesantren berasrama ini telah menerapkan pendidikan karakter seperti kemandirian, gotong royong, dan lain sebagainya, sebelum adanya program guru penggerak.
Selaku kepala sekolah, Dede merasakan manfaat sekolah penggerak dari meningkatnya motivasi dan capaian pembelajaran siswa. Apalagi setelah adanya kurikulum merdeka, pelaksanaan sekolah penggerak semakin selaras. Ia menyebut telah melakukan asesmen baik kognitif maupun nonkognitif kepada siswa yang menggunakan kurikulum merdeka.
“Kita berorientasi pada kebutuhan siswa, jadinya anak-anak lebih enjoy dalam belajar. Kita asesmen kognitif terlebih dahulu, jadi guru sudah tau pemetaan kompetensi siswanya. Lalu asesmen nonkognitif juga kita lakukan, jadi tau latar belakang sosial dan budaya. Dari hasil asesmen, kita lakukan pemetaan,” terang Dede.
Hasil pemetaan, kata Dede, memberi gambaran di fase mana kompetensi siswa saat itu, jadi guru yang menyesuaikan siswa. Dan dari hasil asesmen pun terlihat bahwa kemampuan anak untuk menyerap pembelajaran berbeda-beda, tergantung media yang digunakan. “Ada anak yang visual, ada yang audio, dan ada yang kinestetik. Setelah tahu, guru bisa menggunakan beragam alat bantu supaya siswa bisa maksimal belajarnya. Jadi kita itu fasilitator,” urai Dede.
Dalam pelaksanaan kurikulum merdeka, Dede juga melakukan evaluasi dua kali dalam satu bulan, terutama untuk mendapatkan masukan dari para guru tentang kendala yang dihadapi. Selain itu, momentum evaluasi juga jadi ajang berbagi para guru bagaimana melaksanakan pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan berdiferensiasi. “Itu tugas saya selaku kepala sekolah untuk menggerakkan pola pikir para guru ke arah perubahan yang lebih baik,” kata Dede.
Setelah menjadi sekolah penggerak dan menggunakan kurikulum merdeka, Dede mengaku capaian hasil belajar dari penilaian akhir semester siswa meningkat signifikan. Begitu juga motivasi siswa untuk belajar terlihat semakin tinggi. “Dulu siswa sering tidak hadir di kelas, sekarang 95 persen hadir setiap hari kecuali kalau sedang sakit. Kurikulum merdeka ini sangat efektif, itu pendapat saya,” pungkasnya.
Kota Makassar memiliki sembilan sekolah penggerak saat seleksi awal yang terdiri dari empat sekolah negeri dan lima swasta, di mana SMA Plus Budi Utomo adalah salah satunya. Sedangkan di Sulawesi Selatan ada 16 sekolah penggerak. (rls)